MAKALAH
QAWAID AL-TAFSIR
KAEDAH-KAEDAH PENAFSIRAN AL-QURAN
MATA KULIAH
STUDY AL-QURAN
DOSEN
Prof. Dr. H.
ROHIMIN. M.Ag
MAHASISWA
Sukamdani
FROGRAM FASCASARJANA
PRODI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI
(STAIN) BENGKULU
TAHIN AKADEMIK 2012-2013
KAIDAH-KAIDAH
TAFSIR SEBAGAI UNSUR ILMU TAFSIR
BAB I
1.
PENDAHULUAN
Ilmu tafsir adalah salah satu ilmu yang paling tinggi dan sebaik-baik ilmu.
Ilmu yang paling diwajibkan dan paling dicintai oleh Allah SWT, sebab Dia telah
memerintahkan kepada umat manusia supaya merenungkan Kitab Suci-Nya, memahami
makna-maknanya dan menjadikan ayat-ayat-Nya sebagai petunjuk. Dan hal tersebut
hanya dimungkinkan jika seseorang mempelajari dan memahami Ilmu Tafsir.
Dengan keutamaan tersebut, semua disiplin ilmu yang
terkait dan menunjang dalam memahami ilmu tafsir juga memiliki peranan yang
sangat urgen. Salah satu di antara ilmu penunjang tersebut adalah Kaidah-kaidah
Tafsir. Ilmu ini mencakup masalah-masalah yang terkait dengan beberapa
kaidah-kaidah yang digunakan Al-Qur’an.
Dalam makalah ini, pemakalah mencoba mengangkat
beberapa pembahasan yang terkait dengan kaidah-kaidah tafsir, mulai dari
pengertiannya sampai pada contoh aplikatif dari kaidah yang dipergunakan di
dalam Al-Qur’an.
Makalah ini tidaklah dapat membahas secara lengkap dan tuntas masalah yang
terkait dengan kaidah-kaidah tafsir, tetapi setidaknya makalah ini dapat
menggambarkan secara ringkas dan global kaidah-kaidah tafsir berikut permasalahannya.
BAB II
ISI
2.
DEFINISI KAIDAH TAFSIR
Kaidah tafsir terdiri dua kata;
kaidah dan tafsir. Pemakalah akan
mendefinisikan masing-masing dari kedua kata ini, kemudian pengertiannya secara
umum sebagai sebuah disiplin ilmu.
Secara bahasa, kaidah berasal dari bahasa arab, القاعدة ,
yang berarti dasar dan asas.[1] yang di atasnya dibangun selainnya. Setiap kaidah
adalah asas bagi bangunan di atasnya.
Adapun secara istilah, kata Al-Qaidah memiliki
beberapa makna, namun semuanya hampir sama, yaitu hukum kulliy yang
dengannya diketahui hukum-hukum juz’iyyah.[2]
Adapun defenisi tafsir secara bahasa adalah Al-Kasyfu
dan Al-Bayan; (menyingkap dan menerangkan).[3]
Dan tafsir secara istilah adalah; sebuah
ilmu yang membahas tentang ahwal (berbagai hal) yang terkait dengan
Al-Qur’an dari unsur dilalah (petunjuk)-nya akan kehendak Allah Ta’ala,
sesuai dengan kemampuan manusia.[4] Adapun pengertian kaidah tafsir adalah hukum-hukum Al-Kulliyah
(sifatnya umum dan menyeluruh) yang mengantarkan kepada kemampuan untuk
memahami makna-makna Al-Qur’an dan mengetahui metode pemanfaatannya
(pengamalannya).[5]
3.
URGENSI QAWA’ID TAFSIR
Ilmu kaidah
tafsir mempunyai peranan yang sangat penting, khususnya dalam mempelajari ilmu
tafsir. Bahkan, suatu keharusan bagi yang ingin mendalami kajian tafsir
untuk menguasai kaidah tafsir. Sebab, ilmu kaidah tafsir membahas pokok-pokok
dan garis besar hukum syariat yang terkandung di dalam Al-Qur’an. Dari situ
kemudian dikembangkan kepada hukum-hukum yang sifatnya juz’I (parsial).
Disamping itu,
mempelajari Al-Quran, yang merupakan obyek pembahasan ilmu kaidah tafsir,
sangat jelas memiliki urgensi yang sangat besar. Karena Al-Qur’an merupakan
pedoman hidup bagi seluruh umat manusia.
A. Tema
Pembahasan Kaidah-kaidah Tafsir.
Tema sentral dari pembahasan
kaidah ilmu tafsir adalah Al-Qur’an itu sendiri.[6]
Ilmu ini mencoba mengurai kaidah-kaidah, uslub, dan kesusastraan bahasa Arab
yang terdapat di dalam Al-Qur’an. As-Suyuthi, dalam kitabnya, telah
membahas masalah kaidah tafsir yang harus dipahami oleh para Mufassir dalam
menafsirkan ayat-ayat Al-Qur’an yang terkait dengan uslub dan kesusastraan
bahasa Arab. Kaidah tafsir juga mencakup
hal-hal seputar ulum Al-Qur’an, seperti Asbabun Nuzul, Qiraah, Al-Ahruf
As-Sab`ah dan lain-lain. Setidaknya demikianlah pandangan Khalid Utsman
As-Sabt Bagi As-Sa`dy, metode Al-Qur’an dalam menetapkan kebangkitan, kenabian
Muhammad SAW, menetapkan tauhid, mendakwahi orang-orang kafir dan beberapa
metode lainnya adalah bagian dari Kaidah-kaidah Tafsir.[7] Hal yang dianggap oleh As-Sabt sebagai Fawaid
dan Lathaif dan bukan termasuk Qawa`id.
B. Tujuan dari Kaidah-kaidah Tafsir
Kaidah Tafsir menjelaskan
metode-metode penafsiran Al-Qur’an dan merintis jalan kepada manhaj (system)
pemahaman tentang Allah. Di samping itu, ilmu ini juga bertujuan untuk memahami
makna-makan Al-Qur’an, hingga dapat diamalkan dan akhirnya memperoleh kebahagiaan
di dunia dan di akhirat.
C. Keutamaan Kaidah Tafsir
Ada beberapa keutamaan
mempelajari Kaidah Tafsir, yaitu:
1. Dari segi tema
pembahasan; yang menjadi obyek kajian adalah firman Allah Ta’ala yang
merupakan kitab yang paling mulia dan agung.
2. Dari segi tujuan dan
maksudnya; agar dapat berpegang teguh pada ajaran Allah untuk mendapatkan
kebahagiaan di dunia dan di akhirat.
3. Dari segi peranannya
yang sangat dibutuhkan, di mana setiap insan manusia yang ingin mendapatkan
kebahagiaan dunia dan akhirat sangat memerlukan ilmu-ilmu syariat, dan itu
bersumber dari Al-Qur’an yang merupakan inti dari segala ilmu.
D. Faidah dan Keistimewaan Kaidah-kaidah Tafsir
Kaidah penafsiran Al-Qur’an sangat tinggi nilainya.
Manfaatnya juga amat besar dan sangat membantu kita memahami kalamullah
dan dapat dijadikan penuntun untuk mendapatkan pemahaman yang sempurna. Dan
yang lebih penting lagi bahwa kita dapat memahami tafsir Al-Quran dengan
kaidah-kaidah yang shahih.
Disamping itu, kaidah tafsir memiliki beberapa
keistimewaan dengan ilmu yang lain, di antaranya shighat atau lafadz yang
digunakan sangat ringkas, namun sangat luas maknanya dan sangat luas
cakupannya, serta kekuatan lafadznya yang sangat tinggi.
E. Sumber
Kaidah-kaidah Tafsir
Setelah mendalami lebih jauh kaidah-kaidah tafsir,
kita mendapati bahwa sumber-sumber yang dipakai dalam ilmu ini adalah :
1. Al-Qur’an
Al-Karim. Hal tersebut dapat dilihat dari permasalahan yang dibahas di
dalamnya, disamping itu ditemukan pula kaidah-kaidah yang diadopsi dari ilmu
Qira’ah
2.
As-Sunnah An-Nabawiyah.
3.
Beberapa atsar dari sahabat yang membahas tentang tafsir. Dari atsar
tersebut dapat diketahui dasar-dasar kaidah yang digunakan oleh mereka untuk
memahami makna Al-Quran.
4.
Ushul Fiqh. Karena pada hakikatnya ilmu ushul fiqhi adalah penelitian tentang
keumuman dalil-dalil, sehingga menjadi pijakan bagi para mujtahid dan
memudahkan bagi para thalibul ilmi untuk mengaksesnya.
5. Ilmu
Linguistik, karena ilmu-ilmu yang berkaitan dengan kebahasaan akan mengarahkan
untuk memahami struktur bahasa yang digunakan di dalam Al-Quran dan hadits
secara benar, dan pada hakikatnya ilmu ini adalah fiqhi At Ta’abbud
dengan lafadz-lafadz syariah yang menunjukkan kepada maknanya bagaimana
digunakan.
Bahkan Imam Asy-Syathibi berpendapat bahwa penguasaan terhadap ilmu bahasa Arab
sangat penting dalam menguasai dan menyusun kaidah-kaidah ushul fiqh.[8]
6.
Kitab-kitab ulumul Quran dan beberapa kitab Tafsir.
4.
SEJARAH PERTUMBUHAN/PENULISAN QAWA'ID TAFSIR.
Ada dua fase dalam hal ini,
Fase di mana Qawa'id Tafsir masih dijumpai bertebaran pada berbagai karya
ulama, baik pada kajian Ushul Fiqhi, Ilmu-Ilmu Al-Qur'an, Ilmu-Ilmu Bahasa dll.
Fase
penulisan Qawa'id. Di mana, buku-buku khusus tentang Qawa'id Tafsir mulai
bermunculan.[9]
Terkait dengan fase pertama, Khalid Abdul
Rahman al-Ak menulis, "Bukanlah perkara mudah untuk melacak orang pertama
yang menulis Qawaid Tafsir. Akan tetapi, dengan sangat meyakinkan sekali bahwa
Ilmu, Qawa'id, dan Ushul ini merupakan hasil dari kajian yang begitu lama dan
penelitian yang mendalam yang disponsori oleh ulama-ulama brilian kita. Mulai
dari sejak masa awal gerakan penulisan (tadwin) berbagai disiplin ilmu hingga
hari ini …"[10]
Setelah aktifitas penafsiran mulai melaju pada zaman
Sahabat dan Tabi'in, lalu diikuti masa tadwin pada era selanjutnya, maka Qawaid
Tafsir beredar pada berbagai karya ulama. Hanya saja, keberadaannya tidak
terbatas pada literatur-literatur Tafsir, tetapi juga terdapat pada kajian
Ushul Fiqhi, Ilmu-Ilmu Al-Qur'an dan Ilmu-Ilmu Bahasa.
Pada abad ke-2 Hijriah, Qawaid Tafsir mulai
tertulis pada bab khusus dalam kitab Ar-Risalah karya Imam Syafi'i. Lalu
pada abad ke-3 dan ke-4 Hijriah, Qawaid Tafsir muncul pada berbagai bentuk
kajian ulama, seperti : Ta'wil Musykilul Qur'an karangan Ibnu Qutaibah, Jami'ul
Bayan-nya Imam Ibnu Jarir Al-Thabari, Ahkamul Qur'an-nya At-Thahawi
dan Ahkamul Qur'an-nya Imam Al-Jasshas.
Pada abad ke-5 dan ke-6 Hijriah, kajian Tafsir, Ushul,
Bahasa dan Ilmu-Ilmu Al-Qur'an makin meluas. Muncullah karya-karya seperti : Al-Ihkaam
(Ibnu Hazm), Al-Burhan (Al-Juwaini), Ushul Fiqhi (Al-Sarakhsi), Al-Musthasfaa
(Al-Gazali), Al-Muharrar Al-Wajiiz (Ibnu Athiyyah) dan Funun Al-Afnan
(Ibnul Jauzi) dll.
Kemudian pada abad ke-7 dan ke-8 Hijriah, karya-karya
ulama yang memuat Qawaid Tafsir makin banyak bermuculan. Diantaranya karya Ibnu
Taimiyyah dan muridnya Ibnul Qayyim, Al-Bahrul Muhith (Abu Hayyan), Tafsir
Al-Qurtubi, Tafsir Ibnu Katsir, Al-Burhan (Al-Zarkasyi) dan Al-Mantsur
fii Qawa'id Al-fiqh (Al-Zarkasyi).
Demikianlah Qawaid Tafsir berkembang pada lima abad
selanjutnya. Nanti pada abad ke-14 Hijriah kita menemukan kitab tersendiri yang
merangkum Qawaid Tafsir, yaitu Al-Qawa'idul Hisan Fii Tafsiril Qur'an
karya Al-Allamah Abdul Rahman Al-Sa'di rahimahullah. Hanya saja,
menurut Khalid al-Sabt, buku ini masih merangkum Qawaid dengan berbagai ragamnya.
Seperti :
Qawa'id Tafsir. (sekitar 20 kaidah)
Qawa'id Qur'aniyah.
Fawa'id Wa Latha'if (bukan qawaid).
Qawa'id Fiqhiyyah yang disarikan dari al-qur'an.[11]
Kemudian salah seorang Mahasiswa Pascasarjana pada Universitas Islam Imam Ibnu
Saud, Riyadh, Saudi Arabiya, mengajukan judul kajian berupa Qawaid Tafsir :
Jam'an Wa Dirasah, di mana kitab tersebut memuat Qawaid Tafsir dengan
pembahasan sistematis disertai contoh penerapan dalam 2 jilid buku.
Penulisnya adalah Khalid Bin Utsman Al-Sabt.
Adapun fase kedua, nampaknya ada beberapa buku
yang memberikan perhatian terhadap Qawaid Tafsir, setidaknya terlihat dari
judul yang menghiasinya. Diantaranya :
1) Qawaid
Tafsir karya Ibnu Taimiyyah (W.621 H). Hanya saja, kitab ini tidak sampai
kepada kita.
2) Al-Manhajul
Qawim fii Qawaid Tata'allaq bil Quranil Karim karya Ibnu Al-Sha'iq
(W.777.H). Kitab ini juga tidak diketahui keberadannya. Penulis Kasyfu
Adz-Dzunun hanya menyebut nama buku ini saja tanpa sedikit pun meresensi
inti kandungnnya.
3) Qawaid
Tafsir karya Ibnul Wazir (W.840 H). Kitab ini masih berupa manuskrif.
Setelah diteliti oleh khalid Al-Sabt, ternyata kitab tersebut merupaka salah
satu pasal dari buku Iytsarul Hak Alal Khalq karya beliau sendiri.
Isinya memuat tentang metode penafsiran, jenis serta tingkatannya.
4) Al-Taisir
Fii Qawa'id Ilmi Al-Tafsir karya Muhmmad Sulaiman Al-Kafiji (W.879 H).
Tetapi buku ini mambahas tentang Ilmu-Ilmu Al-Qur'an.
5) Al-Qawa'id
Al-Hisan Fii Tafsiril Qur'an karya Al-Sa'di. Buku ini telah disinggung
sebelumnya secara umum.
6) Ushul At-Tafsir Wa Qawa'iduhu
karya Khalid Abdul Rahman Al-Ak. Buku ini juga hanya membahas ilmu-ilmu seputar
al-qur'an.
7) Qawa'id At-Tadabbur Al-Amtsal
likitabillahi Azza Wa-Jalla. Karya Abdul Rahman Al-Habanakah Al-Maidani.
Hanya saja buku ini berisi hal-hal yang harus diperhatikan oleh pembaca
al-qur'an agar bisa mentadabburinya.
8)
Qawa'id Wa Fawa'id Lifiqhi Kitabillahi Ta'ala. Karya Abdullah Bin
Muhammad Al-Juiy. Kitab ini berisi sedikit pembahasan tentang Qawa'id Tafsir.
Isinya kebanyakan hal-hal seputar latha'if wa fawa'id yang disarikan
dari al-qur'an.[12]
9)
Qawaid Al-Tafsir : Jam'an Wa Dirasah.karya Khalid Utsman Al-Sabt.
5. CONTOH KAEDAH TAFSIR
DAN AFLIKASINYA.
Contoh Kaedah :
قد يكون سبب النزول واحد والآيات النازلة متفرقة و العكس
Terkadang Asbabun Nuzul ayat hanya satu, tetapi ayat
yang turun tentang sebab tersebut banyak. Demikian pula sebaliknya.
Aflikasi :
A.
Contoh Asbab Nuzulnya satu sedang ayat yang turun banyak.
Sebuah hadits yang dirilis oleh Al-Tirmizi yang bersumber dari Ummu Salamah radiyallahu
anha. Ia berkata, "Laki-laki ikut berperang sedang perempuan tidak
ikut. Kami juga hanya mendapatkan seperdua harta warisan". Allah swt lalu
menurunkan ayat yang berbunyi :
ولا تتمنوا ما فضل الله به بعضكم على بعض.....(النساء :
32)
Al-Tirmidzi mengatakan,
Mujahid berkata, "Lalu diturunkanlah ayat :
إن المسلمين و المسلمات و المؤمنين و
المؤمنات......(الأحزاب : 35).[13]
Manna Qatthan menyebutkan, "Imam Ahmad, Nasa'I, Ibnu jarir, Ibnul Munzir,
Al-Thabarani, dan Ibnu Mardawaih merilis hadits Ummu Salamah. Ia berkata,
"Kenapa kami tidak disebutkan dalam Al-Qur'an seperti penyebutan laki-laki
?. Rasulullah saw tidak pernah memperdulikan hal itu hingga suatu hari beliau
berkhotbah di atas mimbar sambil mengatakan, " إن المسلمين و المسلمات و المؤمنين و
المؤمنات......(الأحزاب : 35)"[14]
Imam Tirmizi juga merilis sebuah hadits dari Ummu Salamah. Ia berkata,
"Wahai Rasulullah ! Saya tidak pernah mendengar Allah swt menyebutkan
wanita dalam masalah hijrah". Lalu Allah swt menurunkan "
Banyak lagi contoh lain
yang diungkapkan oleh Al-Suyuti dalam Itqan-nya.[16]
B.
Contoh Asbab Nuzulnya banyak tetapi ayatnya hanya satu.
Imam Bukahri merilis sebuah
hadits dari Sahl bin Sa'ad Radiyallahu Anhu. Bahwasanya Uwaimir mendatangi Ashim bin Adhi, yang mana ia adalah penghulu
Bani Ajlan. Uwaimir berkata, "Apa pendapatmu tentang seseorang yang
mendapati istirnya bersama laki-laki lain, ia membunuhnya lalu kalian
membunuhnya juga. Atau apa yang harus ia lakukan ? Tanyakan hal ini
kepada Rasulullah untukku. Ashim lalu mendatangi Rasulullah saw. Ia berkata,
"Wahai Rasulullah". Tetapi Rasulullah saw kurang senang dengan
permasalahan itu. Uwaimir kemudian bertanya lagi kepada Ashim. Ia berkata "Rasulullah
kurang senang dan mencela pertanyaan itu". Uwaimir berkata, "Demi
Allah. Saya tidak akan berhenti hinnga hal ini saya tanyakan kepada Rasulullah
saw. Uwaimir lalu mendatangi Rasulullah saw dan berkata, "Wahai
Rasulullah. Jika ada seseorang mendapati istirnya bersama laki-laki lain, apa
ia membunuhnya lalu kalian membunuhnya juga. Atau apa yang harus ia
lakukan ?. Rasulullah saw menjawab, "Allah swt telah menurunkan ayat
tentang engkau dan istrimu…..[17]
Imam
Bukhari juga merilis hadits lain dari Ibnu Abbas radiyallahu anhu, bahwa
Hilal bin Umayyah menuduh istrinya berzina
dengan Syuraih bin Sahma' di hadapan Nabi. Beliau lalu berkata, " البينة أو حد في ظهرك ". Hilal lau berkata, "Demi yang mengutusmu dengan
kebenaran. Saya betul-betul berkata jujur. Allah swt akan menurunkan ayat-Nya
yang akan membebaskan aku dari hukum had". Jibril lalu turun membawa ayat
tentang kasusnya
والذين يرمون أزواجهم ولم يكن لهم
شهداء....) ).[18]
BABA III
KESIMPULAN
Berdasarkan paparan di atas, kita
bisa menyimpulkan bahwa :
Qawaid Tafsir memiliki urgensi nyata dalam aktifitas
penafsiran dan penulisan tafsir.
Qawaid tafsir melalui beberapa pase pertumbuhan hinnga
akhirnya menjadi disiplin ilmu yang memiliki system, konsep dan formulasi dalam
merangkai bagian-bagiannya.
Qawaid Tafsir merangkum rumusan penting yang menjadi
acuan umum dalam penafsiran dengan segala hal yang terkait denganya.
Demikianlah yang dapat kami sarikan dari pembahasan
ini. Wallahu A'lam Bis-Shawab.
DAFTAR PUSTAKA
Khalid Abdul Rahman al-Ak, Ushul At-Tafsir,
(Baerut : Dar Al-Nafa'is), cet.2, th.1986
Sunan Tirmizi, (Saudi Arabia : Baitul Afkar
Al-Dauliyah, tth).
Jalaluddin As-Suyuti, Al-Itqaan Fii Ulumil Qur'an,
(Baerut : Daru Ihya Al-Ulum), Vol.1, cet.1, th.1978.
Manna Al-Qatthan, Mabahits Fii Ulum Al-Qur'an,
Mansyuratul Ashri Al-Hadits, Cet.3, Th.1983.
A.W. Munawwir, Kamus Al-Munawir, Krapyak
Yogyakarta.
Khalid Utsman Al-Sabt, Qawaid At Tafsiir Jam`an Wa
Dirasah, (Mesir; Daar Ibnu Affan).
Abdurrahman Nashir As-Sa`diy, Al-Qawa`id
Al-Hisaan Li Tafsir Al-Qur’an, (Kairo; Daar Ibnu Rajab 1423 H/ 2003 M).
Al Mu’jam Al-Ashri, Atabik Ali dan Zuhdi Muhdar
(Yogyakarta : Yayasan Ali Maksum, 1996),cet.7.
Al-Mu’jam Al Wasith, (kairo : Majma' Al-Lugha), cet.2,
th.1992.
Shahih Bukhari, (Saudi Arabia : Baitul Afkar Dauliah,
tth).
[7]
Lihat
: Al-Qawa`id Al-Hisaan Li Tafsir Al-Qur’an, Abdurrahman Nashir
As-Sa`diy, (Kairo; Daar Ibnu Rajab 1423 H/ 2003 M).
[8]
Qawaid At Tafsiir
[9]
Qawa'id
Tafsir : Jam'an Wa Dirasah, hal.41
[10]
Ushul
Tafsir Wa Qawaiduhu, hal.35
[12]
Lihat
: Qawa'id Tafsir : Jam'an Wa Dirasah,
hal.43-45
[13]
Sunan
Tirmizi, (Saudi Arabia : Baitul Afkar Al-Dauliyah, tth), kitab tafsir
Al-Qur'an, bab :ومن سورة النساء , hadits no.3022. status hukum hadits
menurut Al-Albani : Isnadnya Shahih.
[14]
Manna
Al-Qatthan, Mabahits Fii Ulum Al-Qur'an, Mansyuratul Ashri Al-Hadits,
Cet.3, Th.1983, Hal.92
[15]
Sunan
Tirmizi, ibid, no. hadits 3023. status hukum hadits menurut Al-Albani : Shahih
berdaasarkan hadits sebelumnya
[16]
Jalaluddin
As-Suyuti, Al-Itqaan Fii Ulumil Qur'an, (Baerut : Daru Ihya Al-Ulum),
Vol.1, cet.1, th.1978, hal.97-98.
[17]
Shahih
Bukhari, (Saudi Arabia : Baitul Afkar Dauliah, tth), kitab tafsir Al-Qur'an,
bab : والذيم يرمون
أزواجهم..... hadits
no.4745.
0 komentar:
Posting Komentar