TUGAS
MAKALAH
ZHUNNU AL-MISHRI (AL-MA’RIFAT)
RIWAYAT HIDUP ZHUNNU AL-MISHRI,
PEMIKIRAN DAN JALAN FIKIRANNYA TENTANG MA’RIFAT, KATA-KATA BIJAKNYA TENTANG
MA’RIFAT
MATA KULIAH
SEJARAH
PEMIKIRAN DALAM ISLAM
DOSEN
Dr. MUNAWWARATUL
ARDHI. M.Ag
MAHASISWA
SUKAMDANI
FROGRAM FASCASARJANA
PRODI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI
(STAIN) BENGKULU
TAHIN AKADEMIK 2012-2013
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Dzun Nun al-Misri adalah seorang tokoh
sufi yang telah banyak memberikan sumbangsih berharga bagi perjalanan tasauf di
dunia Islam, Sesungguhnya faham sufi (sufisme) itu berkembang dari waktu ke
waktu mengikuti keadaan jaman. Sejak jaman Rasulullah saw hingga sekarang,
banyak diwarnai dengan keragaman. Adapun keragaman tersebut muncul dalam
beberapa tahapan perkembangan.
Sebagian ulama berpendapat, ayat-ayat
Al-Qur`an yang turun di Mekkah -periode Makkiyah sudah menekankan betapa
pentingnya spiritual, dalam kaitannya tentang orientasi kenabian dan tentang
wahyu. Dikisahkan pengalaman spiritual kenabian yang dilalui Rasulullah saw
(dikenal dengan Isra` Mi`raj),
Sebagian ulama filosof mengatakan, bahwa
pengalaman isra` mi`raj Nabi lebih kepada pengalaman spiritual. Para yang
mendapat cerita tentang isra` mi`raj langsung menerima dan mereka tidak
bertanya mengenai pengalaman-pengalaman tersebut. Ada sejumlah alasan mengapa
demikian, karena mereka dilatih untuk suatu tujuan moral atas dasar keagamaan.
Lagi pula aktifitas mereka telah membuat mereka cenderung untuk tidak
bertanya-tanya tentang rahasia metafisik itu. Kedua, mereka menganggap bahwa
pengalaman-pengalaman spiritual Nabi saw tersebut merupakan ciri khas seorang
rasul atau utusan Tuhan. Sedangkan kewajiban mereka hanya mengimani dan
melaksanakan apa yang diyakininya itu.
Dalam masa ini, Rasulullah saw
menanamkan kepada umatnya -walaupun pada tingkatan yang berbeda- suatu
keyakinan tentang ketuhanan, keesaanNya, kemahakuasaanNya, serta perasaan
mendalam pada pertanggungjawaban dihadapan pengadilan Tuhan menyangkut perilaku
selama di dunia.
Ajaran Rasulullah ini mendapat sambutan
yang mendalam oleh para sahabat, terutama yang sangat dikenal adalah Abu Dzar
Al Ghiffari. Dimana sepeninggal Rasulullah, Abu Dzar merupakan tokoh penting
yang dikenal keshalihannya dimata penduduk Madinah. Keshalihan Abu Dzar inilah
yang kemudian menjadi pondasi bagi perkembangan zuhud (sufi) dua abad pertama
Hijriyah.
Pada perkembangan berikutnya,
keshalihan beragama secara spiritual ini muncul dalam bentuk kehidupan zuhud.
Kemunculan kehidupan zuhud dipengaruhi oleh kondisi umat Islam disaat itu yang
tenggelam dalam menikmati kemewahan duniawi. Kemewahan duniawi itu dipengaruhi
oleh keberhasilan pemerintahan Islam dalam mengembangkan politik dan militer
hingga ke seluruh jazirah Arabia.[1]
Menurut sebagian ulama, kehidupan
zuhud semata-mata merupakan reaksi terhadap kehidupan sekuler dan sikap
penguasa Dinasti Umayyah yang dianggap kurang religius. Artinya, Dinasti
Umayyah telah meninggalkan keshalehan dan kesederhanaan hidup sebagaimana yang
pernah dicontohkan oleh Rasulullah saw dan para sahabat empat.[2]
Dua abad sesudah hijriyah, kemudian
bermunculan tokoh-tokoh (ulama) zuhud mengembangkan konsep spiritual (batiniah)
dalam beribadah disamping konsep syariat. Lalu muncullah istilah sufisme
(gerakan sufi) sebagai protes terhadap kehidupan umat Islam yang dianggap
kurang religius karena tenggelam dalam kemewahan duniawi. Diantara dari para
ulama zuhud itu, salah satu yang sangat terkenal adalah Hasan al-Basri.
Pengaruh konsep ajarannya demikian kuat selama berabad-abad.
Setelah itu, tradisi hidup sufi
dikenal sebagai cara tertentu. Pada masa itu konsep ulama zuhud yang sangat
populer adalah pemahaman tentang tawakkal (berserah diri kepada Tuhan).
Kemudian berubah menjadi dokrin-dokrin yang sangat mencolok. Mereka menempuh
jalan sufi dengan menyerahkan diri secara totalitas kepada Allah.
Dari sini kemudian muncul ulama-ulama
sufi besar seperti Malik bin Dinar, Ibrahim bin Adham, Rabi`ah al Adhawiyah dan
masih banyak lagi. Kencenderungan pengaruh ajaran sufi pada saat itu misalnya
dapat dijumpai dalam cerita tentang bagaimana Malik bin Dinar mencari nafkah
(rejeki).
Malik bin Dinar memilih hanya memiliki
sebidang tanah. Dimana, sebidang tanah itu dia mengusahakan kehidupan tanpa
menggantungkan dirinya kepada orang lain. Sementara Wasi` lebih menyukai
menjadi orang yang jika makan tidak peduli darimana dia akan memperoleh makanan
lagi nanti.
Ciri khas gerakan pada masa itu
hanyalah pada zuhud dan rajin beribadah yang bertujuan untuk membersihkan jiwa
secara lahir bathin. Belum ada teori-teori khusus yang menonjol.Baru pada abad
ketiga hijriyah, muncul ulama-ulama besar dalam tradisi sufi, diantaranya ialah
Al Muhasibi, Dzun Nun Al Misri, Abu Yazid al Bistami, Junaid Al Baghdadi dan
Abu Manshur al Halajj.
Ulama-ulama sufi tersebut menggunakan
kebiasaan (tradisi) berpikir yang berkembang pada masa itu. Dzun Nun Al Misri
memiliki konsep sufi yang dikenal "al ma`rifah" (pengetahuan).
BAB II
PEMBAHASAN
BIOGRAFI DAN PEMIKIRAN DZUN AL
MISRI TENTANG MA’RIFAT
A. Biografi Dzun Al-Misri
Dzun-Nun Al-Mishri nama lengkapnya
adalah Abu Al-Faid Tsauban bin Ibrahim, Ia dilahirkan di Ikhmin, dataran tinggi
Mesir, Pada tahun 180 H/796 M. Dan wafat pada tahun 246 H/856 M dan makam kan
dekat makam Amr bin Ash dan Uqbah bin AL Harun.[3] Ia
adalah seorang sufi besar dari Mesir, Seorang ahli kimia dan fisika dan dia
juga seorang sufi yang pertama kali menganalisis ma’rifah secara konsepsional.
Nama Dzun-Nun mempunyai makna tersendiri, yaitu arti dari namanya adalah
”seseorang yang mempunyai huruf Nun dari mesir”. Huruf Nun ini mempunyai makna
tersendiri pula bahwa huruf Nun adalah sebuah simbol yang mempunyai makna
spiritual power. Huruf Nun dimaknai sebagai relasi antara Tuhan dan hambanya,
dimana huruf Nun ini mempunyai sebuah titik ditengah dan garis yang
melingkarinya. Simbol tersebut dimaknai sebagai sebuah roda kehidupan yang
mempunyai titik tujuan sebagai asal, awal dan titik sentral dari kehidupan.[4]
Kaum sufi juga memaknai simbol ini
sebagai simbol kesadaran dalam kehidupannya. Begitu pula dengan Dzun-Nun
Al-Mishri, dia mengetahui dan sadar akan makna dari simbol yang dimilikinya
apalagi sebagai nama dari dirinya sendiri. Yang kemudian makna dari namanya itu
membawayanya serta mendorongnya untuk menjadi seorang sufi yang ikhlas dan tunduk
kepada Allah. Dia sadar bahwasanya setiap kehidupannya akan berawal dan
berujung kepada sebuah titik sentral, yaitu sebuah titik sentral pada huruf Nun
tersebut, dan titik sentral itu dimaknai sebagai Allah SWT. Yang dimana titik
sentral tersebut adalah yang awal dan yang akhir. Sebagaimana firman Allah SWT
:
“huwa
al-awwalu waal-aakhiru waalzhzhaahiru waalbaathinu wahuwa bikulli syay-in
'aliimun”
Artinya
: Dialah Yang Awal dan Yang Akhir, Yang Lahir dan Yang Batin; dan Dia Maha
Mengetahui segala sesuatu (QS. Al-Hadiid : 3 ).
Jadi bisa kita sebut bahwa makna ayat
tersebut sangat erat hubungannya dengan huruf Nun yang menjadi sebuah simbol
sebagai sentral dari kehidupan, dan titik sentral tersebut adalah sesuatu yang
yang awal dan yang akhir.
Sejak usia anak-anak beliau sudah dikenal
sebagai ahli ilmu, karena kegigihannya dan ketekunan dalam memahami beberapa
ilmu pengetahuan agama. Usahanya untuk memperdalam ilmu pengetahuan tidak
ditempuh disuatu tempat saja, tapi ditempat yang berbeda-beda. Ketika beliau
berada disuatu negeri orang, beliau pernah ditangkap dan di penjara oleh
penguasa Baghdad selama 40 hari. Dan setelah bebas Dzun Nun pulang kenegeri
asalnya dan mengamalkan ilmu yang ia dapat. Dalam perjalanan hidupnya Al-Misri
selalu berpindah dari satu tempat ketempat yang lain, Ia pernah menjelajahi
berbagai daerah di Mesir, mengunjungi Bait Al-Maqdis, Bagdad, Mekah, Hijaz,
Syria, Pegunungan Lebanon, Anthokiah dan Lembah Kan’an.[5]
Waliyullah yang bangga dan dibanggakan oleh Mesir ini berasal dari Nubay (satu
suku di selatan Mesir) kemudian menetap di kota Akhmim (sebuah kota di propinsi
Suhaj). Kota Akhmin ini rupanya bukan tempat tinggal terakhirnya. Sebagaimana
lazimnya para sufi, ia selalu menjelajah bumi mensyiarkan agama Allah mencari
jati diri, menggapai cinta dan ma'rifatulah yang hakiki.
Suatu ketika dalam perjalanan yang
dilalui kekasih Allah ini, ia mendengar suara genderang berima rancak diiringi
nyanyi-nyanyian dan siulan khas acara pesta. Karena ingin tahu apa yang terjadi
ia bertanya pada orang di sampingnya : "ada apa ini?". Orang tersebut
menjawab : Itu sebuah pesta perkawinan. Mereka merayakannya dengan
nyanyi-nyanyian dan tari-tarian yang diiringi musik ". Tidak jauh dari
situ terdengar suara memilu seperti ratapan dan jeritan orang yang sedang
dirundung duka. "Fenomena apa lagi ini ?" begitu pikir sang wali.
Iapun bertanya pada orang tadi. Dengan santai orang tersebut menjawab :
"Oh ya, itu jeritan orang yang salah satu anggota keluarganya meninggal.
Mereka biasa meratapinya dengan jeritan yang memekakkan telinga ". Di sana
ada suka yang dimeriahkan dengan warna yang tiada tara. Di sini ada duka yang
diratapi habis tak bersisa. Dengan suara lirih, ia mengadu : "Ya Allah aku
tidak mampu mengatasi ini. Aku tidak sanggup berlama-lama tinggal di sini.
Mereka diberi anugerah tidak pandai bersyukur. Di sisi lain mereka diberi
cobaan tapi tidak bersabar ". Dan dengan hati yang pedih ia tinggalkan
kota itu menuju ke Mesir (sekarang Kairo).[6]
B. Ajaran-ajaran Tasawuf Dzun AI-Mishri
a. Pengerüan Ma’rifat Menurut Dzun
Al-Misri
Al Ghazali dalam ihya memandang bahwa
ma’rifah datang sebelum mahabbah tetapi Al Kalabadi dalam al Ta’arruf menyebut dan menjelaskan bahwa ma’rifah
sesudah mahabbah, ada pula yang berpendapat bahwa keduanya merupakan kembar dua
yang selalu disebut bersama, keduanya menggambarkan keadaan dekatnya hubungan
seorang sufi dengan tuhan, mahabbah menggambarkan hubungan rapat dalam bentuk
cinta dan ma’rifah menggambarkan hubungan rapat dalam bentuk pengetahuan dengan
hati sanubari.[7]
Al-Misri adalah pelopor paham
ma‘rifat, Penilaian ini sangatlah tepat karena berdasarkan riwayat Al-Qathfi
dan Al-Mas’udi—yang kemudian dianalisis Nicholson—dan Abd Al-Qadir dalam
falsafah Al-sufiah fi Al-Islam; Al-Misri berhasil mernperkenaikan corak baru
tentang ma’rifat dalam bidang sufisme Islam. Pertama, Ãa membedakan antara
ma‘rifat sufiah dengan ma‘rifat aqliyah. Ma’rifat yang pertama menggunakan
pendekatan qalb yang biasa digunakan para sufi, sedangkan ma’rifat yang kedua
menggunakan pendekatan akal yang biasa digunakan para teolog.
Kedua, menurut Al-Misri, ma‘rifat
sebenarnya adalah musyahadah qalbiyah (penyaksian hati), sebab ma‘riat
merupakan fitrah dalam hati manusia sejak azali. Ketiga, teori-teori ma’rifat
Al-Misri menyerupai gnosisme ala Neo-Platonik. Teori-teorinya itu kemudian
dianggap sebagai jembatan menuju teori-teori wahdat asy-syuhud dan ittihad. Ia
pun dipandang sebagai orang yang pertama kali memasukkan unsur falsafah dalam
tasawuf.[8]
Pandangan-pandangan
Al-Mishri tentang ma’rifat pada mulanya sulit diterima kalangan teolog sehingga
Ãa dianggap sebagai seorang zindiq dan ditangkap khalifah, tetapi akhirnya
dibebas Berikut ini beberapa pandangannya tentang hakikat ma’rifat
1.
Sesungguhnya ma’rifat yang hakiki bukanlah ilmu tentang keesaan Tuhan,
sebagaimana yang dipercayai orang-orang mukmin, bukan pula ilinu—ilinu hurliwi
dan nazliar milik para hakim, mutakalimin, dan ahii balaghah, tetapi ma’rifat
terhadap keesaan Tuhan yang khusus dimiliki para wall Allah. Hal iiui karena
mereka adalah orang yang nienyaksikan Al lab dengan hatinya, sehingga terbukaia
baginya apa yang tidak dibukakan untuk hamba-hamba-Nya yang lain.[9]
2.
Ma’rifat yang sebenarnya adalah bahwa Allah menyinari hatimu dengan cahaya
ma’rifat yang rnurni seperti matahari tak dapat dilihat kecuali dengan
cahayanya. Salah seorang hamba mendekat kepada Allah sehingga Ãa merasa hilang
dirinya, lebur dalarn kekuasaan-nya, mereka merasa hamba, mereka bicara dengan
ilmu yang telah diletakkan Allah pada lidah mereka, mereka melihat dengan
penglihatan Allah, mereka berbuat dengan perbuatan Allah.[10]
Kedua pandangan AI-Mishri di atas
menjelaskan bahwa ma’rifat kepada Allah tidak dapat ditempuh melalui pendekatan
akal dan pernbuktian-pembuktian, tetapi dengan jalan ma’rifat batin, yakni Tuhan
menyinari hati manusia dan menjaganya dari kecemasan, sehingga semua yang ada
di dunia ini tidak mempunyal arti lagi. Melalui pendekatan ini sifat-sifat
rendah manusia perlahan-lahan terangkat ke atas dan selanjutnya menyandang
sifat-sifat luhur seperti yang dimiliki Tuhan, sampai akhirnya Ia sepenuhnya
hidup di dalam Nya dan lewat diri-Nya. Al-Misri membagi pengetahuan tentang
Tuhan menjadi tiga macam yaitu:
a.
Pengetahuan untuk seluruh muslim,
b.
Pengetahuan khusus untuk para filosof dan ularna,
c.
Pengetahuan khusus untuk para wali Allah.[11]
Menurut Harun Nasution, pengetahuan
jenis pertama dan kedua belum dimasukkan dalam kategori pengetahuan hakiki
tentang Tuhan. Keduanya belum disebut dengan ma’rifat tetapi disebut dengan
ilmu, sedangkan pengetahuan jenis ketiga harus disebut dengan ma’rifat Dan
ketiga macam pengetahuan tentang Tuhan di atas, jelaslah bahwa pengetahuan
tingkat auliya—lah yang paling tinggi tingkatan nya, karena mereka mencapal
tingkatan musyahadah, sebaiknya para ulama dan filosofi tidak dapat mencapai
maqam ini, sebab mereka masih menggunakan akal untuk mengetahui Tuhan,
sedangkan akal mempunyai keterbatasan dan kelemahan.
Dalam
perjalanan rohani Al-Misri mempunyai sistematika sendiri tentang jalan menuju
tingkat ma’rifat? Dari teks-teks ajarannya, Abdul Hamid Mahmud mencoba
menggambarkan sistematika Al-Misri sebaga berikut:
a.
Ketika ditanya tentang siapa sebenarnya orang bodoh itu, Al-Misri menjawab,
‘Orang yang tidak mengenal jalan menuju Allah dan tidak ada usaha untuk mengenal-Nya.”
b.
Al-Misri mengatakan bahwa jalan itu ada dua macam, yaitu Thariq Al-inabah.
adalah jalan yang harus dimulai dengan cara yang ikhlas dan benar, dan thariq
ihtiba’, adalah jalan yang tidak mensyaratkan apa-apa pada seseorang karena
merupakan urusan Allah semata.
c.
Di sisi lain Al-Misri menyatakan bahwa manusia itu ada dua macam, yaitu Darij
dan wasil. Darij adalah orang yang berjalan menuju jalà n iman, sedangkan wasil
adalah orang yang berjalan (melayang) di atas kekuatan ma’rifat.
Menurut pengalamannya, sebelum sampai pada
maqam Al ma‘rjfat, Al-Misri melihat Tuhan melalui tanda-tanda kebesaran-Nya
yang terdapat di alam semesta. Adapun tanda-tanda seorang arif, menurut
Al-Misri, adalah sebagai benikut,
a.
Cahaya ma’rifat tidak memadamkan cahaya kewara’annya.
b.
Ia tidak berkeyakinan bahwa ilmu batin merusak hukum lahir.
c.
Banyaknya nikrnat Tuhan tidak mcndorongnya menghancurkan tirai-tirai larangan
Tuhan.[12]
Paparan
Al-Mishri di atas menunjukkan bahwa seorang arif yang sempurna selalu melaksanakan
perintah Allah, terikat hanya kepada-Nya, senantiasa bersama-Nya dalarn kondisi
apapun, dan semakin dekat serta menyatu kepada-Nya, Dzun Nun al-Mishri
cenderung mengaitkan ma’rifat dengan syari’at, seperti katanya berikut: ” Tanda
seorang arif itu ada tiga : cahaya ma’rifa-nya tidak memudarkan cahaya
kerendahan hatinya, secara batiniah tidak mengukuhi ilmu yang menyangkal hukum
lahiriah dan banyaknya karunia allah tidak menjadikannya melanggar tirai-tirai
larangan-Nya.[13]
Menurut Dzun Nun al-Mishri, Makrifat
adalah: karunia Allah yang dilimpahkan pada seorang arif, seperti yang
dikemukakannya ketika di tanya: “Dengan apakah kau mengenal mengenal Tuhanmu?”
Jawabnya: “Aku mengenal Tuhanku dengan Tuhanku!
Tanpa Tuhanlu, aku tidak mungkin mengenal Tuhanku.[14]
Dalam kitabnya, al-Qalam ‘ala
al-Basmalah, Dzun Nun al-Mishri, membagi makrifat ke dalam tiga klasifikasi :
“Ma’rifa (mengenal ) Allah itu ada tiga macam, makrifat tauhid, yang ini bagi orang-orang beriman
yang awam, ma’rifah alasan dan uraian mengenai Tuhan, yang ini bagi para
ilmuwan, dan makrifat tentang sifat-sifat keesaan dan ketunggalan Tuhan, yang
ini bagi para wali dan kekasih Allah.[15]
Menurut Dzun Nun al-Mishri, tujuan
kehidupan para sufi ialah mencapai tingkatan makrifat, dimana tampak hakikat
realitas yang dipahami seorang sufi secara ketersingkapan, yang padanya tidak
terdapat adanya dampak dari akal budi maupun pandangan lahir. Hal ini adalah
sesuatu yang dikhususkan bagi kekasih-kekasih Allah tertentu, yang melihat dengan
pandangan batin mereka.[16]
Cinta dan ma'rifat
Suatu ketika Dzunnun ditanya seseorang
: "Dengan apa Tuan mengetahui Tuhan?". "Aku mengetahui Tuhanku
dengan Tuhanku ",jawab Dzunnun. "kalau tidak ada Tuhanku maka aku
tidak akan tahu Tuhanku". Lebih jauh tentang ma'rifat ia memaparkan :
"Orang yang paling tahu akan Allah adalah yang paling bingung
tentang-Nya". "Ma'rifat bisa didapat dengan tiga cara: dengan melihat
pada sesuatu bagaimana Dia mengaturnya, dengan melihat keputusan-keputusan-Nya,
bagaimana Allah telah memastikannya. Dengan merenungkan makhluq, bagaimana
Allah menjadikannya".
Tentang cinta ia berkata :
"Katakan pada orang yang memperlihatkan kecintaannya pada Allah, katakan
supaya ia berhati-hati, jangan sampai merendah pada selain Allah!. Salah satu
tanda orang yang cinta pada Allah adalah dia tidak punya kebutuhan pada selain
Allah". "Salah satu tanda orang yang cinta pada Allah adalah
mengikuti kekasih Allah Nabi Muhammad SAW dalam akhlak, perbuatan, perintah dan
sunnah-sunnahnya". "Pangkal dari jalan (Islam) ini ada pada empat
perkara: cinta pada Yang Agung, benci kepada yang Fana, mengikuti pada Alquran
yang diturunkan, dan takut akan tergelincir (dalam kesesatan).[17]
Konsep Ma’rifah Dzun-Nun Al-Mishri
Setelah memaparkan sekelumit makna
dari nama Dzun-Nun Al-Mishri, maka dibawah ini penulis akan menyampaikan
sedikit tentang konsep ma’rifah Dzun-Nun Al-Mishri. Konsep ma’rifah Dzun-Nun
tidak bisa lepas dengan makna yang ia dapati dari namanya itu karena namanya
itu menunjukkan sebuah kepemilikan dan penguasaan terhadap makna dari huruf
tersebut. Sebagaimana kita ketahui bahwa huruf Nun yang menjadi sentral
kehidupan di dunia ini, maka untuk mencapai sentral tersebut manusia juga harus
memakai sentral dari diri manusia untuk bertemu dengan sentral kehidupan ini.[18]
Sentral yang disebut diatas adalah
Qalbu, dimana qalbu ini adalah sentral dari manusia dan untuk bertemu dengan
sentral yang hakiki maka manusia harus mengoptimalkan sentralnya supaya sampai
kepada sentral yang hakiki. Mengapa Qalbu atau hati disebut sebagai sebuah
sentral, karena pada qalbu ini berkumpul seluruh kelakuan dan tindakan manusia.
Maka menurut Dzun-Nun yang biasa dilakukan oleh hati tersebut adalah : emosi,
dekat, shahabat, cinta, mengenal, penyingkapan, menyaksikan, al-ittihad,
al-hulul, wahdatul wujud, dan wujudiyah.
Ada sebuah perbedaan pengertian yang
dimaksud oleh Dzun-Nun dengan penyingkapan, perbedaan ini dibagi kepada tiga
bagian, yaitu : al-Mukasyafah, inkisyaf, dan al-kasy-syaf. Yang dimaksud dengan
al-Mukasyafah adalah saling keterbukaan dimana seorang hamba yang meminta dan
Allah yang memberi; inkisyaf, adalah penyingkapan atau keterbukaan Allah
sebagai karunia kepada hambanya dan seorang hamba hanya menerima saja, tidak
dengan meminta.
Dimana pada bagian ini keterbukaan hanya
diartikan sebagai karunia Allah dan manusia tidak meminta untuk keterbukaan
tersebut; al-kasysyaf, pada hal ini tidak menggambarkan proses tentang
bagaimana keterbukaannya akan tetapi adanya sebuah pengalaman keterbukaan.
Pada penjelasan diatas disebutkan
bahwasanya sentral kehidupan hanya bisa dirasakan oleh sentral manusia, yaitu
dimana hati manusia bisa merasakan keterbukaan dengan Allah hanya dengan
penglihatan hati yang menjadi sentral kehidupan manusia. Menurut Dzun-Nun hati
juga tidak serta merta bisa melihat Allah karena hati yang paling dalamlah yang
bisa sampai melihat kepada Allah SWT. Sebelum kita langsung kepada hati yang
dalam, maka akan disebutkan beberapa lapisan hati yang harus dilalui seseorang
sebelum bisa ma’rifah kepada Allah SWT.
Dan lapisan-lapisan tersebut adalah :
as-Suduur, al-Quluub, adh-Dhamaair, al-Fuwaaid, as-sir, sir al-asraar, dan
Basyirah. Yang dimaksud dengan as-suduur hati yang paling luar, pada fase ini
hati mengalami penyempitan dan perluasan, dia tidak bisa konsisten dalam
pendiriannya masih tergoncang dan belum istiqamah. Setelah lulus atau berhasil
dalam tahapan ini, maka akan masuk lebih dalam lagi kepada tahapan yang kedua,
yaitu al-Quluub. Setelah masuk kepada tahapan ini, maka hati seseorang tersebut
akan kokoh dan lebih istiqamah dalam pendiriannya. Selain itu orang yang sudah
sampai pada tahap ini maka dia akan merasakan ketenangan dalam hatinya.
Kemudian setelah lapisan kedua ini berhasil dan tetap konsisten dengan
keduanya, yaitu tahap pertama dan kedua.
Maka tahap selanjutnya adalah
adh-Dhomaair, yaitu dimana bagian ini juga disebut sebagai bagian terdalam pada
tahapan qalbu. Dia menyimpan dan menempatkan cahaya qalbu, kalau dia sudah
sampai pada tahap ini, maka dia akan memiliki kepekaan atau biasa disebut
dengan indera keenam. Setelah tahap ini maka selanjutnya adalah al-Fuwaaid,
pada tahapan ini orang sudah separuh perjalanan untuk menggapai puncak
ma’rifah. Jika seseorang sudah sampai tingkatan ini maka orang tersebut tidak
akan bisa dibohongi atas apa yang dia lihat atau rasakan. Kemudian tahap
selanjutnya as-Sir dan Sir al-Asraar, tahapan ini adalah tahapan yang hampir
mendekati kesempurnaan dan mencapai ma’rifah. Tahapan ini adalah proses untuk mempersiapkan
diri kepada tahapan akhir, Maka tahapan terakhir, yaitu ketika setiap tahapan
tetap terjaga dan saling melengkapi antara satu dengan yang lainnya, maka
sampailah pada tahapan Basyirah, yaitu tahapan akhir yang bisa menyampaikan
manusia untuk bisa melihat dan merasakan Allah SWT. Dan hal ini disebut dengan
ma’rifah.[19]
Menurut Dzun-Nun ma’rifah itu bisa
diklasifikasikan kepada tiga bagian, yaitu : pertama, ma’rifah tauhid sebagai
ma’rifahnya orang awam. Kedua, al-burhan wa al-istidlal yang merupakan
ma’rifahnya Mutakallimin dan para Filosof, yaitu pengetahuan tentang Tuhan
melalui pemikiran dan pembuktian akal. dan ketiga, ma’rifah para wali, yaitu
pengetahuan dan pengenalan tentang Tuhan melalui sifat dan ke-Esaan Tuhan.
Dengan demikian, apabila dilihat dari sisi epistimologi, ada tiga metoda
ma’rifah yang berbeda, yakni metoda transmisi, metoda akal budi, dan metoda
ketersingkapan langsung. Ma’rifah awam lebih bersifat penerimaan dan kepatuhan
semata tanpa dibarengi argumentasi, sedangkan ma’rifah Mutakallimin dan filosof
adalah pemahaman yang sifatnya rasional melalui berfikir spekulatif. Lain
halnya dengan ma’rifah para sufi atau aulia, adalah penangkapan dan penghayatan
langsung terhadap obyek sehingga ia merasakan dan melihat obyek itu. Dan disini
Dzun-Nun menegaskan bahwasanya ma’rifah itu sepenuhnya adalah karunia dan
pemberian Allah SWT.[20]
Jadi kesimpulan menurut Dzun-Nun
bahwasanya kalau kita ingin sampai pada tingkat ma’rifah, maka kita harus
melaluinya setahap demi setahap dan dilakukan dengan kesungguhan dan
keseriusan. Dan dia juga mengatakan bahwasanya adanya perbedaan ma’rifah kepada
Allah yang disebabkan oleh kemampuan dan kesadaran dia sebagai makhluk.
Ma’rifah juga sepenuhnya diberikan oleh Allah SWT atas karunianya dan kasih
sayangnya. Maka seorang hamba tidak akan sampai pada tingkat ma’rifah tanpa
usaha dan anugrah serta karunia Allah SWT.
C.
Jalan fikiran Dnunnu Al- Mishri untuk sampai kepada ma’rifat
Banyak cara kalau Allah berkehendak
menjadikan hambanya menjadi kekasihnya. Kadang berliku penuh onak dan duri.
Kadang lurus bak jalan bebas hambatan. Kadang melewati genangan lumpur dan
limbah dosa. Tak dikecualikan apa yang terjadi pada Dzunnun al-Misri. Bukan
wali yang mengajaknya ke dunia tasawuf. Bukan pula seorang alim yang
mewejangnya mencebur ke alam hakikat. Tapi seekor burung lemah tiada daya.
Pengarang kitab al-Risalah
al-Qusyairiyyah bercerita bahwa Salim al-Maghriby menghadap Dzunnun dan
bertanya "Wahai Abu al-Faidl !" begitu ia memanggil demi
menghormatinya "Apa yang menyebabkan Tuan bertaubat dan menyerahkan diri
sepenuhnya pada Allah SWT ? ". "Sesuatu yang menakjubkan, dan aku
kira kamu tidak akan mampu". Begitu jawab al-Misri seperti sedang
berteka-teki. Al-Maghriby semakin penasaran "Demi Dzat yang engkau sembah,
ceritakan padaku" lalu Dzunnun berkata : "Suatu ketika aku hendak
keluar dari Mesir menuju salah satu desa lalu aku tertidur di padang pasir.
Ketika aku membuka mata, aku melihat ada seekor anak burung yang buta jatuh
dari sangkarnya. Coba bayangkan, apa yang bisa dilakukan burung itu. Dia
terpisah dari induk dan saudaranya. Dia buta tidak mungkin terbang apalagi
mencari sebutir biji. Tiba-tiba bumi terbelah. Perlahan-lahan dari dalam muncul
dua mangkuk, yang satu dari emas satunya lagi dari perak. Satu mangkum berisi
biji-bijian Simsim, dan yang satunya lagi berisi air. Dari situ dia bisa makan
dan minum dengan puas. Tiba-tiba ada kekuatan besar yang mendorongku untuk
bertekad : "Cukup… aku sekarang bertaubat dan total menyerahkan diri
pada Allah SWT. Akupun terus bersimpuh di depan pintu taubat-Nya, sampai Dia
Yang Maha Asih berkenan menerimaku".
Sebelum Al-Misri, sebenarnya sudah ada
sejumlah guru sufi, tetapi Ãa adalah orang pertama yang memberi tafsiran
terhadap isyarat—isyarat tasawuf. Ia pun merupakan orang pertama di Mesir yang
berbicà ra tentang ahwal dan inaqwnal para wali dan orang yang pertama memberi
definisi tauhid dengan pengertian yang bercorak sufislik. Ia mempunyai pengaruh
besar terhadap pernbentukan pemikiran tasawuf. Tidaklah mengherankan kalau
sejum lab penulis menyebutnya sebagai salali seorang peletak dasar tasawuf.’
Pendapat tersebut cukup beralasan
mengingat AI-Mishri hidup pada masa awal pertumbuhan ilmu tasawuf. Lagi pula,
Ãa seorang sufi pengembara yang memiliki kemampuan dan keberanian untuk
menyatakan pendapatnya. Keberaniannya itulah yang rnenyebab kannya harus
berhadapan dengan gelombang protes yang disertai dengari tuduhan zindiq.
Akibatnya, Ãa dipanggil menghadap Khalifah AI-Mutawakkil, namun ia dibebaskan
dan dipulangkan ke Mesir dengan penuh penghormatan. Kedudukannya sebagai wali
diakui secara umurn tatkala Ia meninggalkan dunia yang fana ini.[21]
C. Kata-Kata Bijak
Zhunnu Al- Mishri Tentang Ma’rifat
Diantara sepenggal
Syair yang pernah dilanturkan oleh
zhunnu Al-Mishri menjelang kematiannya adalah :
Aku
akan Mati
Tetap
persahantan dengan-Mu tidakakan mati
Tidsak
kenyang kenginan ku dan ketulusan cintaku kepada-Mu
Karena
engkau tumpuanku
Engkaulah
keberadaan diatas segala kekayaan
Dikala
kekafiran menimpaku
Engkaulah
puncak permintaanku dan akhir keinginanku
Tempat
angan dan sembunyinya rahasiaku
Hatiku
menanggung derita Demi-Mu
Yang
tidak kusebar luaskan
Mesti
sakitku karena-Mu, dan
Bahaya
yang meneimpaku berkepanjangan
Dalam tulang rusukku
Ada
rahasia yang tak kan kusebarluaskan
Takkan
kkuberi tahu keluarga maupun tetangga
Rahasia
yang takkan tertutup dari-Mu ketertutupannya
Meski
tak tak kupersilahkan
Sekedar
memanggil rahasiaku[22]
Dzunnun tentang cinta
Tentang cinta ia berkata :
"Katakan
pada orang yang memperlihatkan kecintaannya pada Allah,
katakan
supaya ia berhati-hati, jangan sampai merendah pada selain Allah!.
Salah
satu tanda orang yang cinta pada Allah adalah dia tidak punya kebutuhan pada selain Allah". "
Salah satu tanda orang yang cinta pada Allah adalah
mengikuti kekasih Allah Nabi Muhammad SAW dalam akhlak, perbuatan, perintah dan
sunnah-sunnahnya". "
Pangkal dari jalan (Islam) ini ada pada empat
perkara: “cinta pada Yang Agung, benci kepada yang Fana, mengikuti pada Alquran
yang diturunkan, dan takut akan tergelincir (dalam kesesatan)".
BAB III
PENUTUP
A. Simpulan
Setelah uraian-uraian di atas maka
penulis dapat menyimpulkan beberapa hal sebagai berikut:
1.
Sesungguhnya ma’rifat yang hakiki bukanlah ilmu tentang keesaan Tuhan,
2.
Ma’rifat yang sebcnarnya adalah bahwa Allah menyinari hatimu dengan cahaya
Al-Misri membagi pengetahuan tentang Tuhan
menjadi tiga macam yaitu:
1.
Pengetahuan untuk seluruh muslim,
2.
Pengetahuan khusus untuk para filosofdan ularna,
3.
Pengetahuan khusus untuk para wall Allah
Abdul
Hamid Mahmud mencoba menggambarkan sistematika Al-Misri sebagal berikut:
a.
Ketika ditanya tentang siapa sebenarnya orang bodoh itu, Al-Misri menjawab,
‘Orang yang tidak mengenal jalan menuju Allah dan tidak ada usaha untuk
mengenal-Nya.”
b.
Al-Misri mengatakan bahwa jalan itu ada dua macam, yaitu Thariq Al-inabah.
adalah jalan yang harus dimulai dengan cara yang ikhlas dan benar, dan thariq
ihtiba’, adalah jalan yang tidak mensyaratkan apa-apa pada seseorang karena
merupakan urusan Allah semata.
c.
Di sisi lain Al-Misri menyatakan bahwa manusia itu ada dua macam, yaitu Darij
dan wasil. Darij adalah orang yang berjalan menuju jalà n iman, sedangkan wasil
adalah orang yang berjalan (melayang) di atas kekuatan ma’rifat.
DAFTAR PUSTAKA
Abd
Nashr AI-Sarraj Ai-Thusj, Al-Lzuna Dar
Al-Kutub Ai-Haditsah.( Mesir, 1960 )
Mahmud
Abdul Qadir, Falsujulu .4 s/i /1
t/-I.v/wn. Dar ,(Al -Fikr Al-Arab. Kairo : 1966)
Nasution
Harun, Falsafat dan Mistisisme dalam
Islam, (Bulan Bintang, Jakarta :1973)
Syafiq Muhammad Ghirb, Al-Mausu’ah Al-‘Arabiyyah, Al-Muyassarah,
(Mesir: Dar Al-Qalam, tth)
Reynold
A. Nicholson, The Mystics ofislan (Routledge
and Kegan Paul. London:1975)
The Encyclopedia of
islam, (E.J. Brill, Lieden : 1933)
Walijot.Com,
http:/www.bloger.com/post-edit.9? (Diakses pada tanggal 10 November 2010
Yatim,
Badri Sejarah Peradaban Islam,
(Jakarta, PT Raja Grapindo Persada : 2010)
[1] Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam, (Jakarta, PT Raja Grapindo Persada :
2010), hlm.47
[2] ibid
[4] Ibid
[5]
E.J.
Brill The Encyclopedia of islam,
Lieden: 1933) h. 242
[8] Abdul
Qadir Mahmud, Falsujulu .4 s/i /1
t/-I.v/wn. Dar ,Al-Fikr (Al-Arab. Kairo, 1966) hIm. 306
[9] Ibid
[12] Abd
Nashr AI-Sarraj Ai-Thusj, Al-Lzuna ‘,‘
Dar Al-Kutub Ai-Haditsah. (Mesir: 1960). hlm. 61
[13] Walijot.Com,http:/www.bloger.com/post-edit.9?
(Diakses pada tanggal 10 oktober 2012).hlm1
[14] Walijo.Com,
ibid
[15] Walijo.Com,
ibid
[16] Walijo.Com,
ibid. hlm. 3
[17] M.Sholihin,
Loc.Cit. hlm 58
[18] M.Sholihin,
Ibid. hlm. 59
[19] M.Sholihin,
Ibid.hlm. 59-60
[21] Ibid
[22] Yusuf Ali Budawi Tokoh-Tokoh Di Ranjang Kematian,
(jakarta Al-I’tishom cahaya umat, 2003). H.97
0 komentar:
Posting Komentar